Oleh Tim AndrieWongso
Dalam sebuah kisah yang sudah menyebar melalui berbagai media, disebutkan, ada seorang anak. Ia bertanya kepada ayahnya, berapa gaji ayahnya dalam sehari? Sang ayah menjawab sambil terus sibuk dengan pekerjaan yang belum diselesaikannya, “Seratus dolar.”
Lalu, si anak kembali bertanya, “Ayah, bolehkan aku minta uang jajan lebih hari ini?” Sang ayah yang masih sibuk menjawab, ”Berapa yang kamu minta?” Sang anak menjawab, “Sepuluh dolar saja.” Si ayah berkata dengan sedikit emosi, karena si anak dianggap mengganggu kesibukannya, “Banyak sekali! Buat apa uang segitu?”
Dengan kepolosannya, sang anak menjawab, “Ayah, aku baru punya tabungan. Kalau ditambah sepuluh dolar lagi, aku bisa membeli waktu ayah satu jam saja untuk bermain-main dengan aku. Sisanya, anggap saja itu bonus untuk ayah karena mau menyisihkan waktu bermain dengan aku.” Sang ayah terkejut mendengar jawaban polos anaknya. Ia tersadar, ternyata, dirinya jarang menyisihkan waktu untuk sang anak.
Masalah “klasik” seperti itu banyak dijumpai di lingkungan sekitar kita. Banyak orangtua yang menganggap, uang yang dikumpulkan sebanyak-banyaknya, dengan bekerja keras hampir tak mengenal waktu, adalah salah satu solusi untuk dapat membahagiakan anak dan keluarga. Akibatnya, waktu yang hanya 24 jam sehari, nyaris tak bersisa untuk keluarga. Ujungnya, kedekatan anak dan orangtua pun seolah jadi berjarak. Itulah mengapa, ada banyak orangtua yang menyisihkan waktu di akhir pekan—Sabtu dan Minggu—agar benar-benar jadi waktu khusus untuk keluarga. Tapi, banyak pula yang kadang, malah menjadikan akhir pekan sebagai waktu lembur kerja.
Dilematis
Memilih antara uang dan keluarga kadang memang jadi sesuatu yang dilematis. Di saat ingin mencurahkan perhatian pada keluarga, kadang kebutuhan (baca: uang untuk membeli berbagai macam keperluan) menjadi sesuatu yang harus pula dipenuhi. Jika berimbang, barangkali tak masalah. Tapi, kadang yang sering terjadi, malah keluarga jadi nomor dua.
Jika itu yang terjadi pada keluarga kita, coba pertimbangkan hasil penelitian berikut. Studi ini diadakan oleh University of Texas di Austin, AS—melibatkan 274 pasangan menikah yang hidup di sekitar Teluk San Francisco. Mereka diteliti dalam rentang waktu sepuluh tahun, yakni antara 1981 hingga 1991. Semua keluarga diharuskan mengisi survey yang diadakan dalam empat kali selama rentang waktu tersebut. Indikator yang dijadikan materi survei adalah pendapatan keluarga; dukungan keluarga; dan kebahagiaan.
Dalam penelitian yang dimuat pada Journal of Family Psychology ini ditemukan bahwa ikatan kebahagiaan yang kuat dari sebuah keluarga, tidak berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan keluarga. Ini mengindikasikan, bahwa kebahagiaan keluarga, tidak selalu dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan.
Meski begitu, dalam studi lain, yang dilakukan oleh ahli ekonomi Betsey Stevenson, PhD, dan Justin Wolfers, PhD dari the Brookings Institution di Washington, D.C., menemukan fakta, terdapat korelasi nyata di mana keluarga yang memiliki penghasilan lebih banyak, ternyata memiliki tingkat kebahagiaan lebih tinggi.
Lantas, manakah yang pantas dijadikan patokan? Sebuah ungkapan yang lebih pas, barangkali adalah: “uang bukan merupakan kunci kebahagiaan, tapi itu akan banyak membantu”. Agar terjadi keseimbangan di antara keduanya, berikut beberapa hal yang perlu kita cermati:
• Ketahui betul kebutuhan dan keinginan dari seluruh keluarga.
Kadang, kita bekerja mati-matian karena—merasa—keluarga membutuhkan ini dan itu untuk dipenuhi. Padahal, saat ditanyakan kepada keluarga, bisa jadi kebutuhan itu hanyalah keinginan dari Anda sebagai kepala keluarga. Untuk itu, jangan gunakan standar pemikiran Anda, tanyakan dan pastikan, ajak berdiskusi, sehingga Anda bisa lebih mengatur mana kebutuhan dan keinginan yang benar-benar diperlukan.
• Coba hitung ulang waktu kerja dengan waktu keluarga.
Saat ada peluang, sering kali kita akan memilih untuk berjuang mati-matian untuk dapat menjadikannya sebagai penghasilan (pencapaian). Tapi, saat itulah, ketika kemudian kita berpikir, itu yang terbaik untuk keluarga, cobalah tanya pada diri sendiri. Hitung ulang, berapa waktu yang berkurang untuk keluarga akibat upaya keras mengejar peluang itu. Misalnya, untuk mengejar uang Rp 100 juta, tapi waktu keluarga jadi hanya 10% saja, apakah itu pantas? Cobalah atur kembali agar porsinya lebih berimbang. Misalnya, cari peluang yang mendatangkan uang lebih sedikit—toh tetap itu merupakan tambahan penghasilan—tapi waktu untuk keluarga minimal tetap 50%.
• Atur keuangan dengan lebih bijaksana.
Salah satu unsur yang kadang membuat kita merasa harus bekerja lebih keras adalah karena keuangan kita yang—sepertinya—selalu kurang. Akibatnya, sebagai kepala keluarga, kita merasa harus bekerja ekstra keras untuk menutupi kekurangan itu. Padahal, sejatinya, dengan perencanaan keuangan yang lebih matang, kita bisa lebih mengatur arus keuangan yang lebih sehat. Sehingga, tiap bulan, kita tidak selalu terbebani dengan uang yang—sepertinya—kurang.
Cara paling sederhana, misalnya dengan memilih dan memilah keuangan, mana yang harus dipenuhi, mana yang bisa ditunda. Selain itu, atur juga arus masuk dan keluar, serta rencanakan biaya-biaya di masa depan, serta berapa yang harus ditabung. Bila perlu, minta nasihat atau cari informasi bagaimana mengatur keuangan yang lebih baik dan terencana.
• Jadikan keluarga sebagai “klien” kita.
Keluarga dinomorduakan biasanya karena kita sering merasa keluarga adalah “sumber kita menghabiskan uang” dan bukannya “sumber kita menghasilkan uang”. Sehingga, saat itu dibandingkan dengan kepentingan yang mendatangkan uang, sering kita lupa, bahwa keluarga sebenarnya juga adalah “klien” kita. Untuk itu, perlu kita ubah pola pikir dengan menempatkan keluarga sebagai “sumber penghasilan”. Bagaimana rasionalisasinya? Bayangkan, jika keluarga puas dan bahagia, apa dampaknya bagi kita? Kebahagiaan itu pasti akan menular kepada kita sehingga kita pun bisa berkarya dan bekerja dengan semangat yang positif pula. Akibatnya? Pekerjaan yang dilakukan dengan rasa senang, pasti akan menghasilkan hasil yang maksimal. Sehingga, ujungnya, bisa jadi pendapatan pun akan naik mengikuti “derajat” kebahagiaan kita.
Luar biasa!
0 komentar:
Posting Komentar