Oleh Andrie Wongso
Beberapa waktu lalu, saya merenung. Sejenak saya memandangi
ratusan buku yang sebagian tersimpan rapi di salah satu lemari kerja. Beberapa
masih terserak di meja kerja, tanda sedang saya baca. Ada juga masih terus saya
taruh di dalam tas kerja, karena memang senang saya bawa ke mana-mana untuk
dibaca saat ada waktu sejenak.
Tak terasa, sudah ribuan judul buku saya baca. Hobi tersebut
memang kegemaran yang sudah saya akrabi sekian lama. Lebih dari 30 tahun, aneka
macam buku saya baca. Dari buku motivasi ringan, pembelajaran tentang sesuatu
hal, hingga filosofi-filosofi kuno dan modern. Sebagian ada yang dari Tiongkok,
Barat, sebagian lagi dari penulis Indonesia atau penulis lain yang entah dari mana.
Sebagai orang yang berjuluk “SDTT” (Sekolah Dasar Tidak
Tamat), saya memang haus akan informasi dan pengetahuan. Karena itu, di setiap
kesempatan yang ada, saya memang selalu datang ke toko buku. Apalagi, kalau
sedang berkunjung ke luar negeri. Hampir pasti, tambahan isi koper selalu
terselip buku-buku baru.
Bagi saya, buku adalah sumber ilmu yang tak ada batasnya.
Selalu saja ada perkembangan yang baru. Bahkan, buku lama pun bisa menjadi
inspirasi bagi munculnya buku baru dengan pendekatan yang lebih modern. Dalam
konteks inilah, saya terus belajar dari beragam informasi yang termuat dalam
buku-buku tersebut.
Dari begitu banyak buku yang saya baca, kadang saya
bertanya, "Mau apa setelah membaca ribuan buku tersebut?" Memang,
dalam sebuah ungkapan, disebut bahwa membaca ribuan buku tidak kan sebanding
dengan berjalan ribuan kilometer. Arti harfiahnya: apa pun informasi yang kita
serap dan dapat dari buku, belum akan sebanding dengan pengalaman menjalaninya
sendiri. Alias, banyaknya teori yang kita peroleh, tidak akan jadi apa-apa
tanpa disertai tindakan.
Secara pribadi, saya memang merasakan, banyak teori di buku
yang telah menjadi bagian dari apa yang saya jalani dalam hidup. Maka, ketika
menulis banyak artikel dan beberapa buku, semua hal itu memberi pengaruh pada
tulisan saya. Sensasi menulis dan pernah menjalani sendiri apa yang ditulis
memberikan “kekuatan” tersendiri, sehingga “ruh” pada tulisan pun lebih hidup.
Pada titik inilah saya kembali merenung. Apa yang sudah saya
ambil dari ribuan buku yang pernah saya baca? Lantas, saya menemukan beberapa
“saripati” yang membuat banyak perubahan dalam hidup. Nilai-nilai penting hasil
referensi pengalaman orang lain yang dituangkan dalam buku menjadi “saripati”
kehidupan. Dan, jika ini ditelaah lebih jauh, akan banyak menghasilkan
pengalaman baru yang membuat kita—sebagai pembaca dan sekaligus pelaku—akan
mampu menjadi “buku” bagi diri kita sendiri.
Buku adalah jendela dunia.
Buku adalah sumber ilmu. Maka, ketika kita sudah menjadi “buku” bagi
diri sendiri, kita akan lebih “menyatu” untuk menjadi manusia cerdas hidup yang
dapat memahami banyak hakekat dalam hidup. Apa arti kesuksesan, dari mana nilai
sebuah kebaikan, apa yang dirasakan sebagai sebuah kebahagiaan. Semua itu
merupakan pencapaian yang bisa “ditulis” menjadi “panduan” baru sebagai buku
bagi diri sendiri, dan mungkin “dibaca” orang lain.
Buku adalah “Jiwa”
Seorang filsuf dari Italia, Cicero, mengatakan, sebuah kamar
tanpa buku adalah sebuah tubuh tanpa jiwa. Ungkapan ini terasa sangat selaras
dengan buah perenungan saya tentang ribuan buku yang saya baca. Sebab, dari
banyak bacaan ini, kalau kita ulang kembali satu per satu, kita akan menemui
“jiwa” kita di sana.
Buku bukan lagi sekadar bacaan. Tapi buku telah menjadi
“panduan” bagi siapa saja yang menyadari. Dan, di sinilah titik yang juga harus
kita ketahui, yakni buku sebenarnya juga “mengajarkan” kita untuk jadi manusia
yang efektif dan bermanfaat. Sebab, tanpa kita sadari, buku adalah “makhluk
sosial” yang tercermin pada kata-kata yang ditulis oleh pembuatnya. Artinya,
dengan membaca buku, kita sebenarnya telah “bersinggungan” dengan nilai-nilai sosial.
Dengan pemahaman tersebut, kita seharusnya sadar, bahwa kita
tak mungkin terlepas dari orang lain. Banyak pengaruh dari sekitar yang membuat
kita bisa menemukan banyak saripati hidup untuk menjadi manusia yang cerdas dan
efektif. Saripati yang diperas dari pengalaman banyak orang yang kemudian
tertuang di buku itulah yang jika kita jalani—kemudian dipadupadankan dengan
pengalaman pribadi—akan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meraih
kesuksesan.
Tentu, yang kemudian menjadi “kunci utama” setelah mendapat
saripati dari berbagai buku tentu kembali pada diri kita sendiri. Seberapa jauh
kita “menguasai” isi buku, seberapa dalam kita menjalankan apa yang ditulis,
seberapa selaras ilmu yang didapat dengan apa yang kita lakukan, semuanya
kembali pada diri sendiri. Sejumput pengetahuan yang dijalankan dengan baik dan
benar akan jauh lebih bermanfaat dibanding dengan banyak ilmu namun minim
tindakan.
Mari, coba kita kembali “bongkar” lemari dan stok buku yang
pernah kita baca. Renungi dan perdalam baik-baik, apa saja nilai-nilai positif
yang telah kita dapat dan jalankan dari berbagai referensi tersebut. Jadikan
“saripati” sukses yang didapat, agar benar-benar mampu menjadi “satu” dalam
diri. Dengan begitu, setiap langkah yang kita lakukan, akan memiliki bobot
untuk menjadikan kita sebagai manusia cerdas hidup yang siap menghadapi
berbagai halangan dan tantangan kehidupan.
Salam sukses luar biasa!
0 komentar:
Posting Komentar