Oleh Andrias Harefa
Usianya sebelas bulanan waktu itu.
Wajahnya nampak menggemaskan dengan pipi yang mirip bakpao. Dengan berat yang
melewati 7 kilogram, ia berdiri dan belajar berjalan. Terjatuh, berdiri lagi,
berjalan lagi, terjatuh lagi, berdiri lagi, berjalan lagi. Sorak sorai orangtua
dan suster pengasuh membuat matanya acap berbinar gembira. Sambil tertawa ia
berusaha keras menjaga keseimbangan tubuh. Dan kalau merasa lelah ia langsung
merengek minta digendong. Itulah kenangan yang tersimpan di memori ketika
menyaksikan putri sulung saya belajar berjalan, belasan tahun silam.
Adiknya kemudian menyusul. Dengan mata yang lebar dan ambisi yang seolah lebih kuat dibanding teman-teman sebayanya, ia mengulangi apa yang terjadi pada kakaknya. Tak ada orang di sekitarnya yang ragu akan kemampuannya. Ia pasti bisa berjalan. Hanya soal waktu saja. Kami tak bicara soal kemungkinan. Ia pasti bisa berjalan.
Lalu kedua anak itu tumbuh bersama saya di rumah. Mereka mulai belajar membaca. Belajar menulis, merangkai kata menjadi kalimat bermakna. Belajar naik sepeda. Dan mengenai semua itu, tak terbesit keraguan akan kemampuan mereka. Pasti bisa. Tanpa hambatan yang berarti mereka bisa berjalan, membaca, menulis, naik sepeda, dan sebagainya.
Ingatan terhadap hal-hal semacam itu menyadarkan saya bahwa ada sejumlah hal yang bisa dengan mudah kita terima sebagai kepastian—bukan sebagai kemungkinan—dalam kehidupan kita. Anak normal pasti bisa berjalan, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya. Matahari pasti terbit dari timur. Manusia yang dilahirkan pasti tumbuh menjadi dewasa dan akhirnya mati. Terkena api pasti panas, tersiram air pasti basah, tergores benda tajam pasti terluka.
Lalu anak-anak bicara tentang cita-citanya.
“Aku sebaiknya jadi psikolog atau penyanyi ya, Pa? Bisa dua-duanya nggak?” tanya anak sulung saya. Ia memiliki talenta suara yang indah luar biasa. Sifatnya yang intuitif, kreatif, berorientasi orang, berbelas kasih dan suka menolong, membuat ibunya mendorong agar kelak ia memilih bidang studi psikologi.
“Aku enaknya jadi dokter ahli yang punya rumah sakit atau jadi menteri keuangan Pa? Kalau jadi menteri keuangan, sekolahnya berapa tahun?” tanya adiknya polos. Si bungsu ini suka bingung karena ibunya selalu mendorong agar ia nanti menjadi dokter. Sementara saya, yang melihat kesukaannya terhadap angka hitung-hitungan yang berbau ilmu pasti, dan kepandaiannya mengorganisir diri serta memengaruhi orang, mengajak dia berpikir untuk menjadi pemimpin Indonesia masa depan. Dan saya suka mengatakan kepadanya bahwa Sri Mulyani Indrawati—kala itu masih menjabat Menteri Keuangan RI—memerlukan pengganti. Ia sebaiknya mempersiapkan diri.
Pada intinya, saya mencoba menanamkan dalam diri anak-anak saya bahwa segala sesuatu itu mungkin. Apa pun yang mereka cita-citakan sangat mungkin tercapai. Lalu saya menceritakan kisah seorang pastor yang membangun Chrystal Catedral di Amerika Serikat. Namanya Robert Schuller. Ia nyaris tidak punya apa-apa saat ia mulai meyakini bahwa pembangunan katedral yang bisa tembus pandang ke langit itu mungkin. Ia berdoa kepada Tuhan dan mulai bekerja keras mengumpulkan pendukung dari waktu ke waktu. Akhirnya, apa yang buat orang kebanyakan dianggap usaha yang sangat tidak mungkin itu, terealisasi dan menjadi monumen sejarah yang bisa di lihat banyak orang sampai hari ini.
Menurut Robert Schuller, si pengajur possibility thinking (1967), ketika seseorang mulai meyakini bahwa sesuatu—impian, visi, cita-cita, target, atau apapun istilah—itu mungkin, maka pada momen itu tiga keajaiban terjadi serentak: pertama, peluang-peluang menjadi terbuka di sel-sel otaknya, nampak (bisa dibayangkan) dalam pikirannya; kedua, sel-sel otaknya bersiap-siap untuk memecahkan masalah yang muncul; dan ketiga, tekad bulat menguat dalam aliran pembuluh darahnya.
Sebaliknya, jika seseorang meyakini bahwa sesuatu (cita-cita) itu tidak mungkin dicapai, maka otaknya mengalami kesulitan untuk membayangkan hal itu terjadi, dan ia akan cenderung membesar-besarkan risiko apapun yang dapat menghalangi dirinya untuk mencapai cita-citanya itu. Mereka mudah menemukan alasan mengapa hal tersebut tidak mungkin terjadi, namun sangat sulit membayangkan cara-cara kreatif yang dapat dilakukan untuk membuat itu terjadi. Mereka menjadi kritis, tetapi kehilangan kreativitas—salah satu modal terpenting dalam usaha mencapai apapun dalam hidup ini. Mereka terjangkit apa yang disebut Schuller sebagai “impossibility complex” yang memiliki kedekatan “inferiority complex” (perasaan minder alias rasa rendah diri yang akut).
Jadi, saya berulang kali mengatakan pada anak-anak saya bahwa segala yang dicita-citakan mereka itu “pasti mungkin” tercapai. Tidak perlu diragukan. Namun, bukan soal kepastian atau kemungkinan yang pasti itu yang penting. Yang lebih penting untuk dipersoalkan adalah apakah hal itu cocok dengan tugas yang diberikan Pencipta Langit kepadanya. Persoalannya lebih pada apakah cita-cita itu memuliakan Sang Pencipta atau hanya sekadar memenuhi ambisi pribadi saja. Persoalannya lebih pada seberapa besar manfaat pencapaian cita-cita tersebut bagi bangsa dan umat manusia.
“Tapi bagaimana kita bisa yakin kalau cita-cita kita itu menyenangkan hati Sang Pencipta...?” tanya anak saya mulai kritis. Saya tersenyum dan menjawab, “Nah, itu papa juga belum paham benar, Nak. Mari kita baca lagi Kitab Suci yang merupakan wahyu Ilahi, agar hati kita diterangi dan pikiran kita dicerahkan untuk dapat memahami maunya Sang Pencipta”. Kami lalu membuka Kitab Suci dan melanjutkan pembacaan untuk hari itu.
Adiknya kemudian menyusul. Dengan mata yang lebar dan ambisi yang seolah lebih kuat dibanding teman-teman sebayanya, ia mengulangi apa yang terjadi pada kakaknya. Tak ada orang di sekitarnya yang ragu akan kemampuannya. Ia pasti bisa berjalan. Hanya soal waktu saja. Kami tak bicara soal kemungkinan. Ia pasti bisa berjalan.
Lalu kedua anak itu tumbuh bersama saya di rumah. Mereka mulai belajar membaca. Belajar menulis, merangkai kata menjadi kalimat bermakna. Belajar naik sepeda. Dan mengenai semua itu, tak terbesit keraguan akan kemampuan mereka. Pasti bisa. Tanpa hambatan yang berarti mereka bisa berjalan, membaca, menulis, naik sepeda, dan sebagainya.
Ingatan terhadap hal-hal semacam itu menyadarkan saya bahwa ada sejumlah hal yang bisa dengan mudah kita terima sebagai kepastian—bukan sebagai kemungkinan—dalam kehidupan kita. Anak normal pasti bisa berjalan, membaca, menulis, berhitung, dan sebagainya. Matahari pasti terbit dari timur. Manusia yang dilahirkan pasti tumbuh menjadi dewasa dan akhirnya mati. Terkena api pasti panas, tersiram air pasti basah, tergores benda tajam pasti terluka.
Lalu anak-anak bicara tentang cita-citanya.
“Aku sebaiknya jadi psikolog atau penyanyi ya, Pa? Bisa dua-duanya nggak?” tanya anak sulung saya. Ia memiliki talenta suara yang indah luar biasa. Sifatnya yang intuitif, kreatif, berorientasi orang, berbelas kasih dan suka menolong, membuat ibunya mendorong agar kelak ia memilih bidang studi psikologi.
“Aku enaknya jadi dokter ahli yang punya rumah sakit atau jadi menteri keuangan Pa? Kalau jadi menteri keuangan, sekolahnya berapa tahun?” tanya adiknya polos. Si bungsu ini suka bingung karena ibunya selalu mendorong agar ia nanti menjadi dokter. Sementara saya, yang melihat kesukaannya terhadap angka hitung-hitungan yang berbau ilmu pasti, dan kepandaiannya mengorganisir diri serta memengaruhi orang, mengajak dia berpikir untuk menjadi pemimpin Indonesia masa depan. Dan saya suka mengatakan kepadanya bahwa Sri Mulyani Indrawati—kala itu masih menjabat Menteri Keuangan RI—memerlukan pengganti. Ia sebaiknya mempersiapkan diri.
Pada intinya, saya mencoba menanamkan dalam diri anak-anak saya bahwa segala sesuatu itu mungkin. Apa pun yang mereka cita-citakan sangat mungkin tercapai. Lalu saya menceritakan kisah seorang pastor yang membangun Chrystal Catedral di Amerika Serikat. Namanya Robert Schuller. Ia nyaris tidak punya apa-apa saat ia mulai meyakini bahwa pembangunan katedral yang bisa tembus pandang ke langit itu mungkin. Ia berdoa kepada Tuhan dan mulai bekerja keras mengumpulkan pendukung dari waktu ke waktu. Akhirnya, apa yang buat orang kebanyakan dianggap usaha yang sangat tidak mungkin itu, terealisasi dan menjadi monumen sejarah yang bisa di lihat banyak orang sampai hari ini.
Menurut Robert Schuller, si pengajur possibility thinking (1967), ketika seseorang mulai meyakini bahwa sesuatu—impian, visi, cita-cita, target, atau apapun istilah—itu mungkin, maka pada momen itu tiga keajaiban terjadi serentak: pertama, peluang-peluang menjadi terbuka di sel-sel otaknya, nampak (bisa dibayangkan) dalam pikirannya; kedua, sel-sel otaknya bersiap-siap untuk memecahkan masalah yang muncul; dan ketiga, tekad bulat menguat dalam aliran pembuluh darahnya.
Sebaliknya, jika seseorang meyakini bahwa sesuatu (cita-cita) itu tidak mungkin dicapai, maka otaknya mengalami kesulitan untuk membayangkan hal itu terjadi, dan ia akan cenderung membesar-besarkan risiko apapun yang dapat menghalangi dirinya untuk mencapai cita-citanya itu. Mereka mudah menemukan alasan mengapa hal tersebut tidak mungkin terjadi, namun sangat sulit membayangkan cara-cara kreatif yang dapat dilakukan untuk membuat itu terjadi. Mereka menjadi kritis, tetapi kehilangan kreativitas—salah satu modal terpenting dalam usaha mencapai apapun dalam hidup ini. Mereka terjangkit apa yang disebut Schuller sebagai “impossibility complex” yang memiliki kedekatan “inferiority complex” (perasaan minder alias rasa rendah diri yang akut).
Jadi, saya berulang kali mengatakan pada anak-anak saya bahwa segala yang dicita-citakan mereka itu “pasti mungkin” tercapai. Tidak perlu diragukan. Namun, bukan soal kepastian atau kemungkinan yang pasti itu yang penting. Yang lebih penting untuk dipersoalkan adalah apakah hal itu cocok dengan tugas yang diberikan Pencipta Langit kepadanya. Persoalannya lebih pada apakah cita-cita itu memuliakan Sang Pencipta atau hanya sekadar memenuhi ambisi pribadi saja. Persoalannya lebih pada seberapa besar manfaat pencapaian cita-cita tersebut bagi bangsa dan umat manusia.
“Tapi bagaimana kita bisa yakin kalau cita-cita kita itu menyenangkan hati Sang Pencipta...?” tanya anak saya mulai kritis. Saya tersenyum dan menjawab, “Nah, itu papa juga belum paham benar, Nak. Mari kita baca lagi Kitab Suci yang merupakan wahyu Ilahi, agar hati kita diterangi dan pikiran kita dicerahkan untuk dapat memahami maunya Sang Pencipta”. Kami lalu membuka Kitab Suci dan melanjutkan pembacaan untuk hari itu.
0 komentar:
Posting Komentar