Oleh Andrie Wongso
Suatu kali, di desa kecil sebuah negeri, ada seorang pemuda yang hidup sangat sederhana. Ia tinggal di gubuk yang beratapkan rumbai. Kalau angin bertiup kencang, orang di dalam gubuk itu akan kedinginan karena angin dengan mudah menembus bambu-bambu yang disusun sebagai tembok. Pemuda itu tinggal seorang diri karena orangtuanya sudah meninggal akibat musibah penyakit menular yang dulu pernah terjadi di desanya.
Saking sederhananya, pemuda itu kerap dikasihani orang. Ia bahkan sudah dianggap layak untuk hidup meminta-minta. Namun, itu tak pernah dilakukannya. Setiap kali ada orang yang kasihan dengan kondisinya dan memberikan bantuan, ia selalu menolak dengan halus. Kalaupun ada yang memaksa dan ia harus menerima, ia biasanya akan menawarkan tenaganya sebagai ganti pemberian tersebut. Sikap itulah yang membuat si pemuda meskipun miskin tapi sangat dihargai oleh penduduk desa.
Kebiasaan si pemuda untuk bekerja membantu apa saja dengan upah seadanya—yang penting bisa makan—membuat ia jadi pemuda yang serba-bisa. Apa saja bisa dikerjakan. Dengan pengalamannya membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, ia jadi terampil melakukan apa saja.
Suatu kali, ia mendengar pengumuman di kota, bahwa sang raja di istana sedang mencari ahli yang bisa membuat sistem pengairan sawah untuk membasahi lahan pertanian di kota yang sedang dilanda kekeringan. Hanya saja masalahnya, sumber air itu terletak jauh dari kota dan letaknya lebih rendah, sehingga untuk menarik air ke atas agar sampai di kota butuh teknisi yang mumpuni.
Banyak insinyur dan ahli teknik yang mencoba mengikuti sayembara itu. Tapi, kalau pun ada yang berhasil, debit airnya masih tidak cukup untuk membasahi seluruh lahan pertanian. Begitu juga si pemuda. Ia ikut mencoba peruntungannya. Dengan pengalamannya, ia berusaha memecahkan masalah itu. Tapi, berkali-kali ia pun gagal. Tapi, ia tak menyerah. Meski tidak berpendidikan tinggi, ia yakin, pengalamannya bisa membantu memecahkan masalah itu. Sayang, tekad itu malah membuatnya dilecehkan para teknisi yang jadi pesaingnya. “Kami saja kesulitan, kamu yang nggak sekolah mana bisa memecahkan masalah ini?” Begitu ledek mereka.
Si pemuda tak menggubris kalimat negatif itu. Hari demi hari, ia terus mencoba. Berbagai teknik yang ia pelajari dari kegagalan para teknisi yang lain, terus disempurnakannya. Coba lagi, gagal lagi. Ia pun makin dilecehkan. Tapi, ia terus mencoba. Beberapa karya dari teknisi yang nyaris berhasil, dipelajari dengan teliti dan dicobanya dengan metode lain.
Siang malam, si pemuda mencoba menyambung pipa-pipa dengan pompa buatan yang dikreasikan dari hasil mencoba-coba. Saat para teknisi sudah mulai menyerah satu per satu, ia tetap mencoba. Akhirnya, dengan kejeliannya memperbaiki dan menyempurnakan alatnya, si pemuda berhasil mengalirkan air sungai itu ke lahan pertanian di kota. Tanah kering yang sudah terlihat retak-retak pun kembali tersentuh air segar sehingga kembali menghidupkan tanaman di lahan pertanian tersebut. Atas kegigihan dan keberhasilannya itu, si pemuda diangkat jadi pejabat di istana, hingga hidupnya pun berubah jadi lebih baik.
Netter yang Luar Biasa,
Kerja keras memang kerap kita jumpai sebagai salah satu rahasia sukses banyak orang. Tapi sayangnya, hanya sampai sebatas kalimat. Padahal, bagi orang yang benar-benar bekerja keras dengan orang yang bekerja asal-asalan, pasti ada perbedaan besar sebagai hasil apa yang mereka lakukan.
Kisah si pemuda yang saya bagikan kali ini adalah gambaran sebuah kegigihan dari kerja keras tanpa kenal menyerah. Kita pun seharusnya bisa bersikap layaknya si pemuda. Ibarat batu keras yang ditetesi air terus-menerus—sebagai analogi kerja keras pantang menyerah—akan berlubang dan bahkan pecah.
Kerja keras yang kita lakukan mungkin tidak akan langsung kelihatan hasilnya. Akan tetapi, saat kerja keras itu terus dilakukan, niscaya banyak kebaikan yang bisa kita hasilkan. Apalagi, saat kerja keras juga disertai kerja cerdas. Hampir bisa dipastikan, sukses pasti bisa kita dapatkan.
Salam sukses, luar biasa!
Suatu kali, di desa kecil sebuah negeri, ada seorang pemuda yang hidup sangat sederhana. Ia tinggal di gubuk yang beratapkan rumbai. Kalau angin bertiup kencang, orang di dalam gubuk itu akan kedinginan karena angin dengan mudah menembus bambu-bambu yang disusun sebagai tembok. Pemuda itu tinggal seorang diri karena orangtuanya sudah meninggal akibat musibah penyakit menular yang dulu pernah terjadi di desanya.
Saking sederhananya, pemuda itu kerap dikasihani orang. Ia bahkan sudah dianggap layak untuk hidup meminta-minta. Namun, itu tak pernah dilakukannya. Setiap kali ada orang yang kasihan dengan kondisinya dan memberikan bantuan, ia selalu menolak dengan halus. Kalaupun ada yang memaksa dan ia harus menerima, ia biasanya akan menawarkan tenaganya sebagai ganti pemberian tersebut. Sikap itulah yang membuat si pemuda meskipun miskin tapi sangat dihargai oleh penduduk desa.
Kebiasaan si pemuda untuk bekerja membantu apa saja dengan upah seadanya—yang penting bisa makan—membuat ia jadi pemuda yang serba-bisa. Apa saja bisa dikerjakan. Dengan pengalamannya membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, ia jadi terampil melakukan apa saja.
Suatu kali, ia mendengar pengumuman di kota, bahwa sang raja di istana sedang mencari ahli yang bisa membuat sistem pengairan sawah untuk membasahi lahan pertanian di kota yang sedang dilanda kekeringan. Hanya saja masalahnya, sumber air itu terletak jauh dari kota dan letaknya lebih rendah, sehingga untuk menarik air ke atas agar sampai di kota butuh teknisi yang mumpuni.
Banyak insinyur dan ahli teknik yang mencoba mengikuti sayembara itu. Tapi, kalau pun ada yang berhasil, debit airnya masih tidak cukup untuk membasahi seluruh lahan pertanian. Begitu juga si pemuda. Ia ikut mencoba peruntungannya. Dengan pengalamannya, ia berusaha memecahkan masalah itu. Tapi, berkali-kali ia pun gagal. Tapi, ia tak menyerah. Meski tidak berpendidikan tinggi, ia yakin, pengalamannya bisa membantu memecahkan masalah itu. Sayang, tekad itu malah membuatnya dilecehkan para teknisi yang jadi pesaingnya. “Kami saja kesulitan, kamu yang nggak sekolah mana bisa memecahkan masalah ini?” Begitu ledek mereka.
Si pemuda tak menggubris kalimat negatif itu. Hari demi hari, ia terus mencoba. Berbagai teknik yang ia pelajari dari kegagalan para teknisi yang lain, terus disempurnakannya. Coba lagi, gagal lagi. Ia pun makin dilecehkan. Tapi, ia terus mencoba. Beberapa karya dari teknisi yang nyaris berhasil, dipelajari dengan teliti dan dicobanya dengan metode lain.
Siang malam, si pemuda mencoba menyambung pipa-pipa dengan pompa buatan yang dikreasikan dari hasil mencoba-coba. Saat para teknisi sudah mulai menyerah satu per satu, ia tetap mencoba. Akhirnya, dengan kejeliannya memperbaiki dan menyempurnakan alatnya, si pemuda berhasil mengalirkan air sungai itu ke lahan pertanian di kota. Tanah kering yang sudah terlihat retak-retak pun kembali tersentuh air segar sehingga kembali menghidupkan tanaman di lahan pertanian tersebut. Atas kegigihan dan keberhasilannya itu, si pemuda diangkat jadi pejabat di istana, hingga hidupnya pun berubah jadi lebih baik.
Netter yang Luar Biasa,
Kerja keras memang kerap kita jumpai sebagai salah satu rahasia sukses banyak orang. Tapi sayangnya, hanya sampai sebatas kalimat. Padahal, bagi orang yang benar-benar bekerja keras dengan orang yang bekerja asal-asalan, pasti ada perbedaan besar sebagai hasil apa yang mereka lakukan.
Kisah si pemuda yang saya bagikan kali ini adalah gambaran sebuah kegigihan dari kerja keras tanpa kenal menyerah. Kita pun seharusnya bisa bersikap layaknya si pemuda. Ibarat batu keras yang ditetesi air terus-menerus—sebagai analogi kerja keras pantang menyerah—akan berlubang dan bahkan pecah.
Kerja keras yang kita lakukan mungkin tidak akan langsung kelihatan hasilnya. Akan tetapi, saat kerja keras itu terus dilakukan, niscaya banyak kebaikan yang bisa kita hasilkan. Apalagi, saat kerja keras juga disertai kerja cerdas. Hampir bisa dipastikan, sukses pasti bisa kita dapatkan.
Salam sukses, luar biasa!
0 komentar:
Posting Komentar